Dampak Kenaikan Harga BBM
Kenaikan harga BBM dan
dampak ekonominya
Reaksi anti kenaikan
harga BBM muncul dari seluruh penjuru Indonesia.
Pengurangan subsidi BBM
sudah dibahas sejak tiga tahun lalu, dengan harapan akan segera dapat
direalisir agar dana subsidi bisa dialihkan ke sektor lain yang tak kalah penting.
Namun tarik-menarik isu
politik, kepentingan usaha dan tekanan publik, membuat ide ini sangat sulit
diwujudkan.
Salah satu masalah
terbesar yang muncul dari dinaikkannya harga BBM adalah kekhawatiran akan
terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa
yang terjadi akibat komponen biaya yang naik.
Inflasi tidak mungkin
dihindari karena BBM adalah unsur vital dalam proses produksi dan distribusi
barang, kata peneliti dan direktur lembaga kajian migas Reforminer Institute,
Pri Agung Rakhmanto. Tetapi menaikkan harga BBM juga tak bisa dihindari karena
beban subsidi membuat negara sulit melakukan investasi bidang lain untuk
mendorong tumbuhnya ekonomi.
"Kenaikan harga BBM
sampai dengan Rp1.500 akan mengakibatkan inflasi bertumbuh 1,6%, tetapi juga
akan mengakibatkan reduksi subsidi sebesar Rp57 triliun," kata Pri.
Jika hitungan itu jadi
nyata maka menurut Pri, inflasi tidak akan bergeser terlalu tinggi dibanding
target yang dipatok pemerintah untuk tahun ini, 5,3%.
"Tahun lalu inflasi
diklaim pemerintah hanya di kisaran 4%-an, tetapi itu kan hasil dari subsidi
yang sangat besar, inflasi semu. Kalau sekarang subsidi dikurangi terjadi
inflasi, ya sama saja kan," tukasnya.
Inflasi lebih tinggi
Sejumlah pengamat
ekonomi lain berpandangan mirip.
"Industri
makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan
BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya
5-10%."
Adhi S Lukman
Enny Sri Hartati,
Direktur INDEF, lembaga analisis ekonomi, berpendapat harga BBM yang dinaikkan
tidak akan mengerek inflasi terlalu tinggi apalagi menyebabkan guncangan
ekonomi.
"Hitungan kami cuma
2,2%. Yang jadi faktor pemberat itu adalah proses pengambilan keputusan yang
bertele-tele sehingga ekspektasi inflasi malah jauh lebih tinggi dari yang
sesungguhnya,"kata Enny.
Akibatnya, dari simulasi
kasar yang dilakukan INDEF, inflasi tahun ini bisa meroket hingga 8%, meski
'tidak akan mencapai dua digit'.
Ekonom dari berbagai
lembaga lain, termasuk sejumlah bank swasta hingga Bank Indonesia dan Badan
Pusat Statistik, umumnya meramal inflasi akan mencapai 6-8%, melebihi target
pemerintah tahun ini 5,3%.
Ongkos naik
Sejumlah komponen
penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga
makanan-minuman serta tarif transportasi.
Keduanya mengklaim BBM
sebagai salah satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos
produksi dan distribusi.
"Industri
makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan
BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya
5-10%," kata Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Seluruh Indonesia, GAPPMI.
Beberapa tahun terakhir
dunia industri sudah tak lagi menikmati subsidi BBM, tetapi menurut Adhi,
naiknya harga minyak dunia juga menjadi pendongkrak meroketnya ongkos produksi.
"Ya kami kan harus
menyesuaikan harga juga akhirnya," kilah Adhi.
Meski terbilang besar,
kenaikan ini menurutnya jauh lebih ringan dari pada situasi tahun 2008, saat
harga BBM juga naik hingga Rp6.000.
"Saat itu situasi
global sedang diguncang krisis pangan, jadi harga makanan-minuman tidak
terkendali. Harganya naik sampai 15-30%," tambahnya.
Momok kenaikan harga
lain muncul dari sektor transportasi, yang selalu menaikkan tarif saat kenaikan
harga BBM terjadi.
Buruh termasuk kelompok
yang paling rentan kena imbas kenaikan harga BBM.
"Kami tidak punya
pilihan karena harga BBM itu merupakan 30% komponen biaya industri
transportasi, paling besar dibanding komponen suku cadang atau lainnya,"
kata Ketua Organisasai Angkutan Darat, Organda DKI, Soedirman.
Dengan harga BBM naik
33%, menurut Soedirman, kenaikan tarif angkutan yang masuk akal adalah 35%,
tuntutan yang menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa
"terlalu besar dan harus dirundingkan kembali'.
Menurut Hatta, kenaikan
tarif angkutan masuk akal bila tak lebih dari 10-20%. Tetapi menurut Soedirman,
hitungan itu justru tak bernalar.
"Itulah kalau tak
paham soal angkutan tapi berkomentar. Bagaimana pengusaha (angkutan) dituntut
peremajaan, memberi layanan yang safety dan nyaman, kalau tarifnya
selalu murah?" kritik Soedirman pedas.
Sampai kini, tarif
angkutan menyesuaikan dengan penaikan harga BBM baru, belum lagi dibicarakan
antara Organda dengan pemerintah.
Subsidi sejati
Apapun pertimbangan
menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya
hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok.
"Belum karuan naik
aja, sudah pada naik semua, sembako dan lain-lain. Orang gaji naik cuma 10-20%
ini malah lebih," protes Suryati, seorang buruh anggota Federasi Serikat
Pekerja Metal Seluruh Indonesia, FSPMI asal Bekasi, yang pekan lalu turut
berdemo ke depan Istana Merdeka.
Buruh lain, seperti
Freddy yang datang dari Pasar Minggu, kurang lebih mengeluhkan hal yang sama.
"Enggak mungkin
dalam kondisi begini naikin harga BBM, karena gaji buruh juga belum
mencukupi."
Sebaliknya menurut
pemerintah, tak mungkin kas negara terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi
BBM karena sektor lain menjadi terbengkalai.
Menurut catatan Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan
hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9
triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun.
Padahal itu belum
termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara total
subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun.
Realisasi subsidi BBM juga
cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali.
Tahun 2010 misalnya,
subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun kemudian membesar
menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana anggaran subsidi
Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni Rp165,2 triliun.
Akibatnya kesempatan
berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk
kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih sedikit.
Pengurangan subsidi BBM,
menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski
belum jelas apa saja bentuknya dan bagaimana realisasinya.
Enny Sri Hartati dari
INDEF menilai situasi ini sangat tak adil bagi kelompok miskin.
"Katanya subsidi
untuk kaum miskin. Padahal pengertian miskin menurut BPS kan mereka yang tak
mungkin punya motor atau mobil, karena pendapatannya hanya Rp300 ribu (per
bulan),"tegas Enny.
Pengurangan subsidi BBM,
menurut Enny, bisa lebih tepat sasaran kalau kemudian diarahkan pada
pembangunan infrastruktur atau program pengentasan kemiskinan lain.
"Itu makna subsidi
yang sejati; kembalikan kepada kelompok yang paling miskin, 30 jutaan lho
jumlahnya."
Perempuan Paling Rasakan Dampak
Kenaikan Harga BBM
Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengatakan, kaum perempuan paling merasakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak karena setiap hari mereka bersentuhan langsung dengan kebutuhan rumah tangga.
"Ibu-ibu akan sangat merasakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ibu-ibu lah yang setiap hari mengatur keuangan keluarga," kata Khofifah di Pusdiklat Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, Minggu (25/3).
Menurutnya, kenaikan harga BBM dipastikan akan berpengaruh pada harga sembako yang merupakan kebutuhan harian masyarakat. Sementara daya beli masyarakat belum tentu naik, bahkan menurun.
"Kalau sembako naik, belum tentu uang belanja dari suami naik. Apa mungkin bikin kopi tanpa gula?" kata Khofifah.
Lebih lanjut ia mengatakan, kenaikan harga BBM mulai 1 April dilakukan karena seolah-olah pemerintah tidak mempunyai opsi lain. Padahal, jika pemerintah mau serius, masih ada opsi yang bisa ditempuh agar harga BBM tidak terus naik.
"Kesimpulannya, manajemen energi Indonesia memang butuh banyak pembenahan," katanya.
Dikatakannya, opsi yang seharusnya dilakukan pemerintah sejak dulu adalah mengolah sendiri minyak hasil dalam negeri, terutama untuk minyak tanah dan premium.
"Sudah saatnya mengolah minyak tanah sendiri. Indonesia harus punya banyak mesin pengolahan minyak. APBN kita yang sebesar Rp1.435 triliun cukup untuk itu. Ini untuk kepentingan jangka panjang," katanya.
Selain itu, kata Khofifah, sudah saatnya transaksi hasil minyak Indonesia dilakukan di dalam negeri, tidak lagi di Singapura.
Langkah-langkah efesiensi dalam manajemen energi juga perlu dilakukan, sehingga kalaupun harga naik tidak terlalu tinggi.
"Karena transaksinya di Singapura, barang itu dari Indonesia lari ke Singapura lalu balik lagi ke Indonesia. Kenapa tidak transaksi di Indonesia saja, agar Indonesia 'bargain' dengan importir," katanya.
Dampak
Kenaikan BBM Sangat Pengaruhi Buruh
Pengaruh kenaikan harga BBM akan
sangat terasa untuk para buruh nasional. "Kenaikan BBM akan sangat
dirasakan oleh kalangan buruh nasional kita, perjuangan mereka kemarin untuk
menaikkan upah minimumnya terasa sia-sia," ujar anggota komisi IX DPR RI
Herlini Amran, di Jakarta, Jumat (23/3/2012).
Legislator Partai Keadilan Sejahtera
ini melanjutkan, daya beli buruh yang diharapkan naik pasca kenaikan UMK
kemarin, seperti tercabik-cabik akibat kenaikan harga BBM. Apalagi, 46 Komponen
KHL dalam Permenaker 17/2005 sudah otomatis akan naik nominal harganya.
"Contoh sederhana, harga
sandang, pangan, sewa kamar pasti dan lain-lainnya pasti akan naik, sedangkan
revisi komponen KHL untuk menyesuaikan harga komponen tersebut dilakukan pada
akhir tahun," katanya.
Kenaikan harga BBM juga dapat berakibat
naiknya biaya produksi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga
membebankan kenaikan biaya produksi tersebut kepada pekerja, seperti menunda
pembayaran gaji, memotong gaji atau mengurangi jumlah pekerja.
Anggota DPR asal Kepulauan Riau ini
meminta Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (kemenakertras) untuk
mengimbau Apindo agar tidak melakukan hal-hal tersebut kepada karyawannya,
akibat dampak kenaikan harga BBM yang berdampak pada sektor Industri. Herlini
meminta pemerintah sebaiknya mengkaji ulang dampak dari kenaikan harga BBM yang
nyata-nyatanya berdampak luas pada masyarakat kelas menengah kebawah seperti
kalangan buruh ini.
"Jelang kenaikan BBM ini saja,
harga obat generik ditetapkan naik 6 sampai 9 persen oleh Kemenkes, salah satu
alasannya adalah akibat kenaikan harga BBM," ujarnya.
Masih ada solusi lain untuk
mengatasi kenaikan harga minyak dunia selain menaikkan harga BBM bila
Pemerintah mau kreatif dan tidak selalu mencari solusi yang paling mudah.
Seperti
melakukan penghematan anggaran dengan melakukan diet ketat untuk tidak belanja
hal-hal yang tidak penting, memaksimalkan pendapatan pajak agar tidak bocor dan
lain-lainnya. "Asal ada good will saja dari pemerintah untuk tidak
menaikkan harga BBM," ujarnya.