Hukum
Perikatan
1.PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation
(Perancis, Inggris) Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan).
Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua
orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji
kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka
timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak.
Intinya, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah
perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber
yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut
sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk
mengadakan perjanjian.
2. DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga
sumber adalah sebagai berikut:
- Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
- Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini
tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi
karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.AZAS-AZAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata,
yakni :
- Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala
sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’,
artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk
menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka
sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan
diri, yaitu :
- Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri.
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
- Mengenai suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
4. WANPRESTASI DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak
melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori,
yakni :
1. Tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yand
dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat
bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga
kategori, yakni
1.Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi
tiga unsur, yakni
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan
yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi
obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. HAPUSNYA PERIKATAN
Perihal hapusnya perikatan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381
menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
- Pembayaran
- Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
- Pembaharuan utang (inovatie)
- Perjumpaan utang (kompensasi)
- Percampuran utang.
- Pembebasan utang.
- Musnahnya barang yang terutang
- Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku
III KUH Perdata adalah :
- Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
- Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Sumber: